Dampak Inflasi Amerika Tahun 2022
 Dampak Inflasi Amerika Tahun 2022

Dampak Inflasi Amerika Tahun 2022 - Masih terekam jelas dalam ingatan kita ketika inflasi Amerika menyentuh 9,1 persen. Salah satu kesialan yang menimpa negeri Paman Sam ini adalah karena tingginya permintaan. Itu juga dipengaruhi oleh pengeluaran besar-besaran lima triliun dolar untuk melindungi rumah tangga dan bisnis dari goncangan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi. 

Sayangnya, upaya ini tidak hanya berdampak pada negaranya sendiri, tetapi juga negara lain. Selain berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah, inflasi Amerika juga memicu kenaikan suku bunga. Kenaikan inflasi yang diikuti agresivitas kenaikan suku bunga acuan bisa menjaga peredaran dolar AS lebih stabil. 

Namun, jika hingga akhir tahun suku bunga The Fed terus menunjukkan peningkatan, stabilitas pasar keuangan negara akan terganggu oleh arus keluar modal. Akan ada kebijakan-kebijakan yang dapat memicu aliran modal keluar sehingga menimbulkan kesenjangan antara suku bunga domestik dan internasional.

Baca : Pengertian Inflasi

Inflasi Amerika

Angka inflasi ini diakui masih jauh di bawah ekspektasi meski harga pangan masih naik. Harga pangan naik 1,3% pada Juli dari bulan sebelumnya dan naik 13,1% pada Juli dari tahun lalu, laju tahunan tercepat sejak 1979. Ini akan menjadi berkah bagi rumah tangga karena harga bensin turun, tetapi di sisi lain masih terasa sakit dari sisi makanan. 

Meningkatnya inflasi adalah produk sampingan dari pertumbuhan yang cepat karena Amerika pulih dari pandemi Covid-19, sebagian didorong oleh suku bunga yang lebih rendah dan stimulus pemerintah. 

Sebelumnya, Amerika mengalami inflasi yang cukup parah. Hal itu juga mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga pada akhir bulan lalu. Fenomena ini terjadi karena adanya gangguan rantai pasok. Dimana pemulihan sisi permintaan jauh lebih cepat daripada sisi penawaran maka sisi penawaran tertinggal. 

Selain itu, ketegangan geopolitik antara perang Rusia-Ukraina juga memperburuk kondisi inflasi saat ini. Pasalnya, terjadi lonjakan komoditas pangan serta energi di mana kedua negara tersebut menjadi produsen terbesar dunia.

 Laju inflasi yang melambat telah membuat pasar lebih yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan mengerem laju pengetatan moneter, yang sejauh ini secara agresif meningkatkan suku bunga acuan untuk menahan kenaikan inflasi. 

Baca :  Cara Menghitung Prediksi Penghasilan dari TikTok

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mempertimbangkan laporan tersebut bersama dengan data ekonomi penting lainnya menjelang pertemuan berikutnya di bulan September.  

Saat ini, pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 2,75-3% pada pertemuan bulan depan. Kemungkinannya adalah 57,5%. Jadi bukan lagi 75 bps, apalagi 100 bps.

Inflasi terjadi di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Fenomena ekonomi ini tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan hanya sebatas mengurangi dan mengendalikan nilainya.

Dampak dari kenaikan harga minyak dunia. Amerika adalah konsumen minyak terbesar di dunia. Ketika ekonomi Amerika sedang booming, permintaan energi akan meningkat. Jadi wajar saja jika harga minyak akan naik.

Pasca rilis data inflasi Amerika yang mulai melorot, harga minyak dunia langsung melonjak. Ini merupakan sinyal negatif, khususnya bagi Indonesia. Artinya, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga akan naik.

Diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah memberikan pernyataan dan memastikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya yang disubsidi pemerintah tidak akan naik hingga akhir tahun 2022. 

Penyebab Inflasi

Salah satu penyebab inflasi yang paling umum adalah peningkatan jumlah uang beredar. Hal ini karena peningkatan uang terjadi karena mencetak uang terlalu banyak. Akhirnya, uang kehilangan daya belinya. Inflasi juga muncul karena dorongan dari kurangnya ketersediaan barang dan tingginya permintaan.

Kenaikan Suku Bunga Fed

Kenaikan suku bunga The Fed berdampak pada penguatan nilai dolar Amerika terhadap mata uang lainnya. Pada Juli 2022, rupiah melemah terhadap dolarAmerika sebesar 3,98 persen. Oleh karena itu, bank sentral di berbagai negara mau tidak mau juga menaikkan suku bunga untuk menjaga valuasi mata uangnya. 

Bank Indonesia (BI) hingga 21 Juli 2022 memilih mempertahankan BI-7 day repo rate di level 3,5 persen. Kenaikan suku bunga berarti memperlambat laju pertumbuhan ekonomi serta menurunkan daya beli masyarakat. 

Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kebijakan. Biasanya ada dua pilihan yang akan dihadapi, yakni menahan laju inflasi atau mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. 

Baca : Cara Menanggulangi Inflasi, Jenis dan Dampak Inflasi

Dampak nyata akibat inflasi adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan listrik nonsubsidi pada Juli 2022. Oleh karena itu, situasi ekonomi ini seolah menjadi badai yang harus dihadapi ke depan. Jadi, masyarakat sangat perlu mengelola keuangannya dengan baik dan bijak agar terhindar dari masa-masa sulit seperti saat ini.

Penyebab Inflasi Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan inflasi. Salah satunya adalah peningkatan jumlah uang beredar. Karena uang bertambah, salah satunya akan timbul karena mencetak dan memberikan uang lebih kepada warga. 

Selain itu, bisa timbul dari pengurangan nilai mata uang yang sah secara hukum dan peminjaman uang sebagai kredit rekening cadangan melalui sistem perbankan dengan membeli obligasi pemerintah dari bank di pasar sekunder. 

Pada akhirnya, inflasi akan timbul karena uang kehilangan daya belinya. Selain itu, inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi penawaran (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.

Dampak inflasi

Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan pendapatan riil masyarakat terus turun, sehingga taraf hidup masyarakat juga akan turun. Akibatnya, semua orang, terutama yang miskin, akan semakin miskin. Inflasi yang tidak stabil dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. 

Inflasi yang tidak stabil juga akan memperumit keputusan masyarakat dalam hal konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. 

Selanjutnya, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dari tingkat inflasi di negara tetangga membuat tingkat suku bunga domestik riil tidak kompetitif, sehingga dapat menekan nilai Rupiah. 

Untuk itu, inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Baca : Mengenal Tax Amnesty Lebih Lengkap Agar Makin Paham

Bagaimana mengukur inflasi Menurut IMF? Inflasi Harga Konsumen (IHK) biasanya merupakan inflasi yang paling banyak diukur. Perhitungan IHK biaya hidup konsumen dihitung dari harga banyak barang dan jasa di setiap anggaran rumah tangga.

 Untuk mengukur biaya hidup rata-rata konsumen, lembaga pemerintah biasanya akan melakukan survei rumah tangga untuk mengidentifikasi apa yang biasanya mereka beli dan melacak harga barang-barang tersebut dari waktu ke waktu. 

Biaya relatif belanja konsumen adalah Indeks Harga Konsumen (IHK), sedangkan perubahan IHK selama periode tertentu adalah inflasi harga konsumen. Di Indonesia, perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang terhubung dengan metadata SEKI-IHK. 

Kenaikan harga satu atau dua barang tidak bisa disebut inflasi, kecuali jika kenaikan itu meluas atau menyebabkan kenaikan harga ke barang lain. Sementara itu, inflasi harga konsumen diukur dalam tujuh kelompok, yaitu: Bahan Makanan. Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau. Daerah perumahan, Pakaian, Kesehatan, Pendidikan dan Olahraga, Transportasi dan Komunikasi.

 

 


Post a Comment